(FIKR) REMAJA-REMAJA YANG BERWIBAWA

image

Sejarah telah mengajari kita untuk menjadi pahlawan, tanpa menunggu tua. Remaja, bukan halangan menggapai wibawa. Siapa tak kenal Al-Fatih? Menjadi sultan pada usia belasan tahun, lalu mempersembahkan Konstantinopel ke dalam pangkuan Islam. Sekaligus, menjawab teka-teki Sabda Nabi saw dengan meyematkan namanya sebagai sebaik-baik panglima. Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Panglima yang menaklukkannya adalah sebaik-baik panglima, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan. (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335).

Siapa tak mengerti Imam Syafii yang di usia 15 tahun sudah layak menjadi mufti? Sampai-sampai Imam Ahmad bin Hambal berkata, Aku belum pernah menjumpai seseorang yang lebih pandai dari pemuda ini (Imam Syafii) dalam memahami kitab Allah, Al-Quran.  (Syaikh Ahmad Farid, 2007:363)

Satu setengah abad sebelum Imam Syafii hidup, pada akhir masa kenabian, Usamah bin Zaid memimpin pasukan kaum muslimin. Usianya baru 18-an tahun, sedang prajuritnya banyak yang lebih tua darinya. Bahkan, lima tahun sebelumnya, dalam peristiwa haditsul ifki (berita bohong), fitnah yang menerpa kesucian Aisyah ra, Usamah bin Zaid termasuk segelintir orang yang diajak musyawarah oleh Nabi Muhammad saw. Bersama Ali bin Abu Thalib, ia pun membela Aisyah ra melalui perkataannya, Wahai Rasulullah, mereka itu adalah istri-istrimu, dan kami hanya mengetahui kebaikan yang ada pada mereka. (Ad-Duwaisy, 2009:122)

Masa awal-awal Islam, remaja berwibawa menebar dimana-mana. Ada Zaid bin Tsabit, juru tulis Nabi. Zaid diperintah Nabi mempelajari kitab kaum Yahudi, padahal usianya belum genap dua puluh tahun. Ia juga dipercaya membacakan surat-surat orang Yahudi pada Rasulullah, dan menulis balasannya. Zaid bin Tsabit masih dianggap kecil dalam perang Badar. Ada pula Zaid bin Arqam serta Zaid bin Jariyah, yang keduanya dianggap kecil dalam perang Uhud.  Demikian pula Muadz bin Al-Harits bin Rifaah serta Muadz bin Amru bin Al-Jamuh, yang keduanya ikut serta perang Badar saat masih kecil. Pada fase Makkiyah, kita tidak bisa melewatkan para remaja berwibawa dari deretan para sahabat. Abdullah bin Abu Bakar, Mushab bin Umair, Saad bin Abi Waqash, dan Arqam bin Abil-Arqam. Dan tentunya, Ali bin Abi Thalib.

Antrean panjang nama-nama itu, adalah bukti bahwa remaja sangat bisa berwibawa. Tapi, mengapa fenomena itu kini sangat langka? Kaum tua yang mabuk jabatan, salah satu jawabnya. Hingga egoisme itu menyebabkan remaja tak pernah diberi kepercayaan untuk berperan. Sekaligus menutup pintu sukses remaja. Sudah jamak kita mendengar masjid yang tidak ramah anak: Dilarang membawa anak kecil ke masjid! Anak dan remaja tidak diberikan ruang untuk menjadi muadzin, juga menjadi bagian takmir. Solusinya, tentu melibatkan anak sejak dini dalam agenda keummatan. Bagaimana mereka akan bisa, jika mereka tidak biasa?

Selain itu, karena kualitas dan kapasitas adalah indikator penentu kesuksesan, maka pendidikan bernuansa ilahiyah harus melekat pada anak sejak bayi. Sejak dini mestinya, mereka dekat dengan Al-Quran dan hidup dalam nuansa ubudiyah. Idealisme menaunginya, jauh dari didikan materialisme keduniawian. Sebutlah Imam Syafii yang menghafal Quran sejak kecil, dan menjadi hafidz sejak belia. Atau Al-Fatih misalnya, ia terbiasa sholat wajib, rowatib, dan tahajud sejak baligh hingga kematiannya.()

oleh: Anwar Rosyadi, S. Sos.
Pengajar Sosiologi SMAIT IF

649 thoughts on “(FIKR) REMAJA-REMAJA YANG BERWIBAWA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *